Rabu, 25 Mei 2011

MANAJEMEN AKHLAK


I.          PENDAHULUAN
Nabi Muhammad SAW adalah satu-satunya suri tauladan bagi umat muslim sampai hari kiamat. Beliau memang diberikan tugas oleh Allah SWT untuk menyempurnakan akhlak manusia. Seluruh sunnah beliau merupakan pedoman dan teladan bagi seluruh manusia. Kita sebagai umatnya wajib meneladani kehidupan beliau, terutama dari segi akhlaknya. Akan tetapi sebagai manusia biasa, sering kali kita kesulitan dalam meneladani akhlak dan kepribadian Rasulullah SAW. Maka dari itu, perlunya pembinaan akhlak yang secara konsisten dan Istiqomah untuk dilakukan. Dalam mewujudkan pengabdiannya manusia berusaha untuk senantiasa bersih atau suci dari segala dosa-dosa yang melekat pada diri manusia. Adapun cara atau upaya untuk mencapai kepribadian yang bersih dan berakhlakul karimah bisa dimulai dengan Tarbiyah Zatiyah, Tazkiyatun Nafs, dan selanjutnya Halaqoh Tarbawiyah. Apabila kesemuanya telah dilaksanakan, maka yang perlu dilakukan adalah pengistiqomahan diri dan ini disebut juga Manajemen Akhlak. 
Untuk pencapaian akhlakul karimah yang di contohkan oleh Rasul, serta dapat mendekatkan diri kepada Allah, maka perlu cara-cara atau metode yang dilakukan. Minimalnya kita harus melakukan tahapan-tahapan tersebut, bisa secara bertahap ataupun secara bersamaan.
Namun disini, kami akan menjelaskan mengenai Manajemen Akhlak atau langkah-langkah pembinaan akhlak yang harus dilakukan supaya terjadi keseimbangan dan kekonsistenan kepada diri kita, sehingga akhlak yang dicontohkan oleh Rasul dapat kita teladani dan upaya-upaya kita untuk mendekatkan diri kepada Allah tercapai.
II.        PEMBAHASAN
Manajemen akhlak merupakan upaya untuk memetakan dan mengorganisir akhlak kita supaya tetap seimbang, konsisten dan Istiqomah dalam hal kebaikan untuk menjalankan kehidupan sehari-hari. Para ahli perjalanan kepada Allah mengambil langkah pendekatan diri kepada Allah melalui tahap-tahap sebagai berikut:
a.   Musyaratah (Mengikat diri)
Musyaratah atau Penetapan syarat atau mengikat diri merupakan langkah awal seseorang dalam setiap melakukan suatu kegitan. Seperti hal nya orang-orang yang terorganisir dalam kehidupannya, ia akan memplaning terlebih dahulu apa saja yang akan dilakukan sehingga ia akan mendapatkan tujuan atau cita-cita yang di inginkan. Dapat analogikan seperti ini. Seorang mahasiswa apabila ia ingin sukses dalam pembelajaran, maka yang harus dipersiapkan adalah memplanning strategi belajar serta membuat syarat atau target untuk mencapai kesuksesan dalam belajar tersebut (Musyaratah). Kemudian ia juga harus diawasi oleh seseorang yang apabila ia keluar dari planningnya tersebut orang tersebut mengingatkannya, atau mahasiswa itu sadar bahwasannya ia akan diawasi (Muraqabah). Setelah itu perlu adanya evaluasi dari hasil pembelajaran (Muhasabah), apabila tidak mencapai target maka harus diadakan sebuah sanksi (Mu’aqabah) atau mencela kegagalan yang ia lakukan (Mu’atabah), sehingga ia akan termotivasi dan ingin terus meningkatkan prestasinya demi kesuksesan studinya.
Begitu pula dengan dengan akal, untuk dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT dan mencvapai kekonsistenan dalam berakhlak dan beribadah, maka diperlukannya musyaratah (penetapan syarat kepada Jiwa), lalu memberikan berbagai tugas, menetapkan berbagai syarat, mengarahkan kejalan kemenangan, dan mewajibkannya agar menempuh jalan tersebut. Serta jangan pernah lupa untuk mengawasinya, sebab seandainya manusia mengabaikan niscaya akan terjadi pengkhiatan dan penyia-nyiaan modal. Kemudian setelah itu ia harus menghisabnya dan menuntut memenuhi syarat yang ditetapkan. Jadi yang harus ditekankan disini adalah musyaratah menjadikan langkah awal dalam upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Tujuan dari musyarath ini adalah untuk mendeskripsikan tujuan dan langkah-langkah yang akan ditempuh dalam rangka membina akhlak pribadi
b.        Muraqabah (Mengawasi diri)
Tahap selanjutnya ketika kita telah melakukan perencanaan diri atau musyaratah, adalah muraqabah. Adapun muraqabah bagi seorang hamba adalah pengetahuan dan keyakinannya, bahwa Allah SWT selalu melihat apa yang ada dalam hati nurani manusia dan Maha mengetahui akan segala hal.[1] Sebagaimana dikatakan oleh al-Hasan bin Ali ad-Damighani – rahimahullah – , “Engkau wajib menjaga rahasia-rahasia hatimu, sebab Dia (Allah) selalu melihat hati nurani”. Sebagaimana al-Qur’an menjelaskan dalam surat at-Taubah ayat 78.
“Apakah mereka tidak mengetahui, bahwa Allah mengetahui rahasia dan bisikan hati mereka, dan bahwasannya Allah Maha mengetahui segala yang gaib”
orang-orang yang muraqabah ia akan selalu tunduk dan taat serta sangat berhati-hati untuk tidak melakukan perbuatan tercela. sehingga dengan kesadaran ini mendorong manusia senantiasa rajin melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Dalam peribadahannya pun senantiasa khusuk karena ia selalu mebayangkan bahwa Allah SWT selalu mengawasinya. Sebagaimana hadits nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim rahimahullah,
“Beribadahlah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.”(H.r. Muslim).
Adapun tingkatan dari muraqabah ada tiga tingkat, yang paling dasar adalah Muraqabatul Qalbi, yitu kewaspadaan dan peringatan terhadap hati, agar tidak keluar dari pada kehadirannya dengan Allah. sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Hasan bin Ali di atas, dimana ia meyakini dan sadar bahwa Allah SWT mengetahui segala sesuatu yang ada pada nurari manusia. Tingkatan yang kedua adalah Muraqabatur-ruhi, yaitu kewaspadaan dan peringatan terhadap ruh, agar selalu merasa dalam pengawasan dan pengintaian Allah. Adapun tingkat ketiga adalah muraqabatus-Sirri, yaitu tingkatan orang-orang besar mereka selalu muraqabah kepada Allah SWT dan memohon kepada-Nya agar dia senantiasa memlihara mereka untuk selalu ber-muraqabah sehingga dengan kesadaran ini mendorong manusia senantiasa rajin melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Karena Allah SWT mengistimewakan  orang-orang pilihan-Nya  dan orang-orang khusus dengan tidak menyerahkan mereka dalam segala kondisi sepiritualnya kepada seorangpun. Dari tahapan ini lahirlah keyakinan bahwa Allah selalu bersamanya di manapun dia berada.
c.       Muhasabah (Introspeksi)
Muhasabah berarti introspeksi diri, menghitung diri dengan amal yang telah dilakukan. Manusia yang beruntung adalah manusia yang tahu diri, dan selalu mempersiapkan diri untuk kehidupan kelak yang abadi di yaumul akhir.
Dengan melakasanakan Muhasabah, seorang hamba akan selalu menggunakan waktu dan jatah hidupnya dengan sebaik-baiknya, dengan penuh perhitungan baik amal ibadah mahdhah maupun amal sholeh berkaitan kehidupan bermasyarakat (ghairu mahdhah). Allah SWT memerintahkan hamba untuk selalu mengintrospeksi dirinya dengan meningkatkan ketaqwaannya kepada Allah SWT.
Dengan begitu muhasabah adalah upaya untuk selalu menghadirkan kesadaran bahwa segala sesuatu yang dikerjakannya tengah dihisab, dicatat oleh malaikat sehingga ia pun berusaha aktif dalam menghisab dirinya terlebih dahulu agar dapat memperbaiki diri[2]. Muhasabah dapat dimulai dengan bertaubat kepada Allah swt, dan disamping itu dilaksanakan dengan cara meningkatkan ubudiyah serta mempergunakan waktu dengan sebaik-baiknya. Berbicara tentang waktu, seorang ulama yang bernama Malik bin Nabi berkata ; “Tidak terbit fajar suatu hari, kecuali ia berseru, “Wahai anak cucu Adam, aku ciptaan baru yang menjadi saksi usahamu. Gunakan aku karena aku tidak akan kembali lagi sampai hari kiamat.”[3]
d.   Muaqabah (Menghukum Diri atas Segala Kekurangan)
Selain sadar akan pengawasan (muraqabah)dan sibuk mengevaluasi diri melalui muhasabah, maka diperlukannya Muaqabah atau menghukum diri atas segala kekurangan yang telah diperbuat. Disini kami mengambil contoh dari sahabat Umar r.a, beliau terkenal dengan ucapannya yaitu “hisablah dirimu sendiri sebelum kelak engkau di hisab”, maka mu’aqabah dianalogikan dengan ucapan tersebut, yaitu “Iqablah dirimu sendiri sebelum engkau di-iqab”. Pada saat itu Sayyidina Umar r.a pernah terlalaikan dari menunaikan shalat dzuhur berjamaah dimasjid karena sibuk mengawasi kebunnya yang pada saat itu sedang panen besar. Lalu karena ia merasa ketertambatan hatinya kepada kebun melalaikannya dari segera mengingat kepada Allah, maka ia pun cepat-cepat menghibahkan kebun beserta isinya tersebut kepada para fakir miskin. Subhanallah…
Akan tetapi, kita harus memahami pemberian sanksi bukanlah dengan sesuatu yang membuat kerusakan atau menimbulkan kemadharatan bagi dirinya sendiri, melainkan dengan meningkatkan amal ibadah dan mengekang diri dari perbuatan syubhat dan munkar.
e.      Mujahadah (Bersungguh-sungguh)
Arti mujahadah menurut bahasa adalah perang, sedangkan menurut aturan syara’ adalah perang melawan musuh-musuh Alloh, dan menurut istilah ahli hakikat adalah perang memerangi nafsu amarah bis-suu’[4] dan memberi beban kepadanya untuk melakukan sesuatu yang berat baginya yang sesuai dengan aturan syara’ (agama). Sebagian Ulama mengatakan : "Mujahadah  adalah tidak menuruti kehendak nafsu”, dan ada lagi yang mengatakan: “Mujahadah adalah bersungguh-sungguh untuk menahan nafsu dari kesenangannya”[5].
Hadits Nabi  :

رَجَعْنَا مِنَ الْجِهَادِ اْلأَصْغَرِ اِلَى الجِهَادِ اْلأَكْبَرِ , قَالُوْا يَارَسُوْلَ اللهِ وَمَا الْجِهَادُ اْلأَ كْبَرِ ؟ قَالَ  : جِهَادُ النَّفْسِ )رواه البيهقى عن جابر فى كتاب الزهد الكبير (الجزء 2، رقم 373) .
 “Kita baru kembali dari perang kecil akan menghadapi perang besar. Para Shahabat bertanya : YA Rosulalloh gerangan apakah perang besar itu ? Rosululloh  menjawab: “Perang melawan Nafsu”.
Mujahadah adalah suatu keniscayaan yang mesti diperbuat oleh siapa saja yang ingin kebersihan jiwa serta kematangan iman dan taqwa. Kecerdasan dan kearifan akan memandu dengan selalu ingat kepada Allah SWT, tidak terpukau oleh bujuk rayu hawa nafsu dan syetan yang terus menggoda.
Situasi batin dari orang-orang yang terus musyahadah (menyaksikan) keagungan Ilahi amat tenang. Sehingga tak ada kewajiban yang diperintah dilalaikan dan tidak ada larangan Allah yang dilanggar. Jiwa yang memiliki rusyda terus hadir dengan khusyu’. Inilah sebenarnya yang disebut mujahidin ‘ala nafsini wa jawarihihi, yaitu orang yang selalu bersungguh dengan nuraninya dan gerakannya.
Syeikh Abu Ali Ad Daqqaq mengatakan: “Barangsiapa menghias lahiriahnya dengan mujahadah, Allah akan memperindah rahasia batinnya melalui musyahadah.”
Imam Al Qusyairi an Naisabur mengomentari tentang mujahadah sebagai berikut:
Jiwa mempunyai dua sifat yang menghalanginya dalam mencari kebaikan; Pertama larut dalam mengikuti hawa nafsu, Kedua ingkar terhadap ketaatan. Manakala jiwa ditunggangi nafsu, wajib dikendalikan dengan kendali taqwa. Manakala jiwa bersikeras ingkar kepada kehendak Tuhan, wajib dilunakkan dengan menolak keinginan hawa nafsunya. Manakala jiwa bangkit memberontak, wajib ditaklukkan dengan musyahadah dan istigfar. “
Rasulullah SAW terkenal dengan Mujahadahnya yang sangat luar biasa dalam hal beribadah, seperti dalam salat tahajudnya. Kaki beliau sampai bengkak kerana terlalu lama berdiri. Namun ketika isteri beliau Ummul Mukminin Aisyah r.a. bertanya, “Kenapa engkau menyiksa dirimu seperti itu, bukankah sudah diampuni seluruh dosamu yang lalu dan yang akan dating”. Beliau menjawab, “salahkah aku bila menjadi ‘abdan syakuran (hamba yang senantiasa bersyukur) ?”.
Jadi, Mujahadah merupakan wujud usaha untuk meningkatkan amal ibadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah.

f.        Mu’atabah (Mencela diri)
Tingkatan terakhir dalam pencapaian pendekatan diri kepada Allah adalah Mu’atabah. Mu’atabah mengandung arti memonitoring, mengontrol dan mengevaluasi sejauh mana proses-proses tersebut seperti mu’ahadah dan seterusnya berjalan dengan baik.
Dalam melakukan mu’atabah harus disadari bahwa musuh bebuyutan dan paling berbahaya adalah hawa nafsu yang terdapat dalam diri manusia sendiri. Ia diciptakan dengan karakter suka memerintah pada keburukan, cendenrung pada kejahatan, lebih menyukai kemadharatan dan lari dari kebaikan. Manusia diperintahkan agar mensucikan, meluruskan dan menuntunnya dengan rantai paksaan untuk beribadah kepada Tuhannya, dan mencegahnya dari berbagai syahwat dan menyapihnya dari berbagai kelezatan duniawi. Jika hal ini diabaikan, maka akan meraja lela dan membahayakan terhadap manusia itu sendiri. Makadari itu mu’atabah sangat diperlukan dalam proses pencapaian kedekatan diri kepada Allah swt, karena dengan Mu’atabah manusia senantiasa mencela dan menegur dirinya sendiri atau orang lain, sehingga ia tertunduk pada nafsu lawwamah (yang amat menyesali dirinya). Hendaklah manusia tidak lupa sekalipun sesaat untuk saling mengingatkan, saling menasehati dalam hal kebaikan, akan tetapi disini perlu muhasabah terlebih dahulu sebelum menasehati orang lain. Allah berfirman :
“Dan tetaplah memberi peringatan, Karena Sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman”. (QS. Adz Zariyat 55).
Tahapan mu’atabah merupakan evaluasi terhadap seluruh tahapan yang sudah dilaksanakan, apakah sudah sesuai dengan ajaran Allah ataukah menyimpang. Evaluasi juga dilakukan terhadap hasil pembinaan akhlak apakah terjadi peningkatan atau penurunan.

III.       PENUTUP
Dari penjelasan diatas, jelaslah upaya untuk dapat mendekatkan diri kepada Allah harus ditekadkan secara kuat didalam hati, diniat kan dengan bulat dan dalamnya juga perlu tahapan-tahapn serta dukungan dalam melakukan kesemuanya itu. Penjelasan tersebut juga telah memberikan gambaran yang konkrit kepada kita, tentang bagaimana cara kita untuk senantiasa berusaha mendekatkan dan mengingat Allah swt. Sehingga dengan adanya deskripsi mengenai jalan untuk memanaj akhlak, diharapkan memberikan gambaran yang positif dan motivasi yang kuat kepada kita semua untuk lebih meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah swt dan terus berupaya untuk mewarnai dalam setiap hembusan nafas kehidupan dengan akhlakul karimah. Aaamiin…



[1] Al-Luma’ Rujukan Lengkap Ilmu Tasawuf Abu Nashr as-Sarraj
[2] Akhlaq / Tasawuf Pokja UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2005
[3] http://blog_artikelislam/scribd/php/muhasabahdiri.co.cc
[4] Nafsu yang senantiasa memerintah / mengajak perbuatan buruk / jahat.
[5]Jami’ul-Ushul Fil-Auliya oleh Asy-Syekh Dhiyauddin Ahmad Mushtofa Al-Kamsyakhonawy An-Naqsyabandy.Penerbit : Al-Haromain Singapura-Jedah-Indonesia

1 komentar:

  1. Terimakasih materinya, referensi saya menjadi lebih lengkap, saya lagi belajar bikin artikel

    BalasHapus