Sabtu, 16 Juli 2011

LEBARAN Dikaji dalam Perspektif Normatif dan Historisnya


Kata “Lebaran” pasti sudah tidak asing lagi ditelinga kita. Bagaimana tidak, setiap tahun umat muslim yang ada di Indonesia pasti tidak akan melewatkan hari raya terbesarnya ini. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Lebaran berarti hari raya umat Islam yang jatuh pada tanggal 1 syawal setelah selesai menjalankan ibadah puasa selama satu bulan.
Nama lain dari idul fitri. Dilihat dari pengertiannya Idul fitri berasal dari bahasa Arab. Idul Fithri ialah hari raya kita kembali berbuka puasa . Oleh karena itu disunatkan makan terlebih dahulu pada pagi harinya, sebelum kita pergi ke tanah lapang untuk mendirikan shalat I’ed. Supaya umat mengetahui bahwa Ramadhan telah selesai dan hari ini adalah hari kita berbuka bersama-sama. Bukan hanya Idul Fitri yang disebut lebaran, akan tetapi Idul Adha juga demikian. Namun pada Idul Adha sering disebut, “Lebaran Haji”.
Untuk umat muslim di dunia lebih mengenal hari raya ‘Ied dari pada Lebaran. Karena lebaran merupakan bahasa lokal yang hanya di gunakan di Indonesia. Di Arab dan negara-negara Islam lainnya, idul fitri sering disebut Eid Mubarak (Hari Raya yang diberi berkah) atau Aid al Fithr (selamat kembali suci/fitrah). Bahkan di Negara yang bersebelahan dengan Indonesia yaitu Malaysia, mengistilahkan Idul Fitri dengan Hari Raya saja, atau sering disingkat Raya. Dengan demikian hal-hal tersebut tidak lepas dari faktor historis yang ada dalam suatu lingkup golongan atau suatu daerah tertentu, terkhusus di Indonesia sendiri. Maka akan memunculkan pertanyaan, kenapa di Indonesia hari raya Idul Fitri atau Idul Adha dinamakan hari Raya Lebaran.
Sebelum membahas jauh tentag asal mula kata lebaran, disini saya akan paparkan sedikit mengenai Idul Fitri  dan Idul Adha yang dikaji dalam pendekatan normatifnya.

Dalil mengenai perintah solat ied
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ



“Dirikanlah shalat dan berqurbanlah (an nahr).” (QS. Al Kautsar: 2). Maksud ayat ini adalah perintah untuk melaksanakan shalat ‘ied.
Dalam haditspun dijelaskan, Hadits dari Ibnu Abbas, beliau berkata, “Aku ikut melaksanakan sholat ‘Ied bersama Rosululloh, Abu Bakar dan Umar, mereka mengerjakan sholat ‘Ied sebelum khutbah.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Dengan demikian jelas, bahwasannya pada jaman nabi pun hari raya setelah berpuasa dan berhaji ini dinamakan ‘Ied. Lalu, kenapa di Indonesia sendiri hari raya ‘Ied itu diistilahkan dengan nama Lebaran. Untuk itu, kita bahas hal tersebut dari segi historisnya yang diambil dari beberapa sumber.
Dalam bahasa Indonesia yang baku (EYD), huruf L dalam kata "Lebaran" harus menggunakan huruf kapital (huruf besar). Secara baku, kata "Lebaran" memang harus diawali dengan huruf kapital, seperti pada kata "Natal" atau "Paskah". Kata Lebaran ini tidak berasal dari bahasa asing. Akan tetapi berasal dari bahasa daerah yang ada di Indonesia. Ada yang bilang bahwa “Lebaran” berasal dari bahasa Jawa yaitu “lebar + an”. Ada yang bilang pula kata “Lebaran” berasal dari bahasa Sunda. Ada yang bilang juga bahwa kata “Lebaran” pertama kali dituturkan dalam bentuk bahasa Indonesia, bukan dalam bentuk bahasa daerah Jawa ataupun Sunda.
Ada beberapa pendapat yang mungkin pendapat tersebut sengaja dibuat-buat atau disesuaikan dengan keadaan umat islam yang merayakan lebaran pada saat itu. Mereka berpendapat, Lebaran itu berasal dari dua kata, yaitu kata lebar + akhiran an, yang berarti membesar ke samping atau badannya mengalami pelebaran. Bagaimana tidak, karena pada hari lebaran semua jenis makan-makanan ada, mulai dari ketupat, opor ayam, ayam sayur, ati, rending hingga kepada makanan cemilannya pun tersedia. Jadi tidak heran apabila pada waktu itu (satu minggu setelah lebaran) kondisi fisik badan menjadi melebar. Asal mologi yang kedua kata Lebaran berarti melebarkan kantong saku. Karena biasanya pada hari lebaran anak-anak banyak yang mendapatkan uang sebagai hadiah hari raya. Pun begitu dengan orang dewasa yang telah bekerja karena mendapatkan THR (Tunjangan Hari Raya) dan itu semua dapat memperlebar kantong mereka. Akan tetapi yang terpenting di hari kemenangan umat Islam itu, menyeru kepada kita untuk  melebarkan hati alias lapang dada dengan membuka lebar-lebar pintu maaf selebar-lebarnya dan juga membuka lebar-lebar pintu rumah untuk menerima para tamu yang hendak datang untuk bersilaturahmi.
Pendapat selanjutnya yang hamper dipastikan kebenarannya, bahwa lebaran itu berasal dari bahasa Jawa, yaitu kata “lebar” (ucapan “e” seperti pada kata jerman) berarti ‘habis’. Karena pada saat Hari Raya, orang muslim yang ada di Indonesia bermaaf-maafan, yang tujuannya adalah untuk melebur dosa, atau menghabiskan dosanya. Hal ini pun berlandaskan kepada hadits nabi yang berisi bahwasannya saling memaafkan dapat meleburkan dosa. Pendapat ini merupakan pendapat yang paling kuat, karena apabila dikaitkan dengan kata “Fitri” pada kata iedul Fitri yang artinya “Suci”, dengan bermaaf-maafan maka akan menimbulkan hati yang bersih, suci dan menurut beberapa sumber hati umat muslim pada saat itu kembali jiwa umat muslim menjadi  bersih, bersih dari dosa, dari segala keburukan dan kehinaan layaknya seorang bayi yang baru dilahirkan. Subhanaallah.
Dalam pendapat lain dikatakan, bahwasannya kata Lebaran itu berasal dari bahasa Sunda. Menurut ahli etimologi “lebar” (ucapan “e” seperti pada kata “senang”) berarti luas. Jadi dapat diartikan lebaran adalah membuka pintu maaf seluas-luasnya.
Berbeda dengan pendapat diatas, seorang ahli bahasa yang bernama “Kang Kombor”, beliau menyatakan bahwa penyebutan Idul Fitri dengan Lebaran memang berasal dari Bahasa Jawa. Di Jawa, Idul Fitri selalu disebut sebagai “bada” (baca: bodo dengan o seperti pada botol) yang berasal dari kata “bakda” yang artinya adalah “setelah” atau “sesudah”. Kalau mau dirunut, bisa jadi kata bakda itu pun berasal dari kata “ba’da” (Bahasa Arab). Misalnya ba’da Shubuh dalam Bahasa Jawa disebut sebagai bakda Shubuh. Ba’da Isya disebutkan sebagai ba’da Isya.
Kata bakda merupakan bahasa halus (krama) dari kata lebar (e dibaca seperti pada kata seperti). Dalam bahasa ngoko, bakda Shubuh dituturkan dengan ‘lebar Shubuh’ atau kadang orang Jawa lebih senang mengatakan ‘bar Shubuh’.
Kata lebaran untuk menyebut Idul Fitri diambil dari kata lebar (Jawa: setelah/sesudah) bukan lebar (Inggris: wide, Jawa: amba).
Orang Jawa menyebut Idul Fitri sebagai “bakda” karena Idul Fitri diperingati setelah melaksanakan puasa, begitupun dengan Iedul Adha yang diperingati setelah orang-orang muslim melaksanakan Ibadah Haji. Dalam tradisi Jawa, pada perayaan Idul Fitri ada yang disebut sebagai “bakda kupat” atau Hari Raya Ketupat. Namun, bukan hanya Idul Fitri saja yang disebut bakda. Idul Adha pun disebut sebagai bada/bakda Kurban. Bukan karena pada saat Idul Fitri semua orang punya hati yang lebar (luas) untuk saling memaafkan melainkan karena Idul Fitri dirayakan sesudah/setelah berpuasa.
Lalu mana yang benar? Sebenarnya sampai saat ini belum ada ahli linguistik yang memastikan asal-asul kata ini melalui penelitian. Lebih baik kita serahkan saja urusan ini kepada kantor Pusat Bahasa Indonesia, karena merekalah yang memegang kendali atas semua ini. Barangkali di masa mendatang mereka bisa menemukan data yang akurat mengenai asal-usul kata “Lebaran”. Saat ini, Pusat Bahasa hanya bisa memastikan bahwa kata “Lebaran” merupakan sebuah kata dasar yang terdiri dari tiga suku kata, yaitu Le + ba + ran. Dengan kata lain, kata “Lebaran” bukanlah kata jadian dari Le + bar + an. Kiranya, mungkin saja kata ini memang berasal dari kata jadian, lalu diserap oleh bahasa Indonesia menjadi kata dasar.


Daftar Pustaka
Moh. Syamsi Hasan dan Achmad Ma’ruf Asrori. Khotbah Jum’at Sepanjang Masa : Membangun Kehidupan Dunia Akhirat. Surabaya : Karya Agung, 2002
Mundzirin Yusuf, dkk., Islam Budaya Lokal. Yogyakarta : Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2005
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka, 2005
S.A. Mangunsuwito, Kamus Lengkap Bahasa Jawa : Jawa – Jawa; Jawa – Indonesia, Indonesia – Jawa. Bandung : Yrama Widya, 2002

Sumber Lain :
-          Artikel internet yang ditulis oleh Kang Kombor, data diambil pada tanggal 30 Mei 2011, pukul 21.20 WIB. URL : http://majalahummatie.wordpress.com/2009/09/12/asal-usul-lebaran/


by : Ridwan Nur Arifin

AL-QUR'AN DAN ENERGI NUKLIR


PROLOG
Tuhan Yang Maha Pemberi menganugrahkan bumi dan segenap isinya untuk semua manusia yang ada di bumi ini, tidak hanya untuk sekelompok manusia atau bangsa tertentu saja. Sebagaimana Firman Allah,
uqèd Ï%©!$# šYn=y{ Nä3s9 $¨B Îû ÇÚöF{$# $YèŠÏJy_ ...
Artinya: Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu… (QS.Al-Baqarah: 29)
Interpretasi penulis yang dituangkan dalam buku ini, beliau memaparkan bahwa Kesejahteraan manusia dapat ditingkatkan antara lain melalui pengembangan industri. Untuk mengembangkan industri perlu memperhatikan faktor pendukung seperti:
a.      Sumber daya manusia (yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi)
b.      Sumber daya alam (kekayaan alam berupa bahan mentah, mineral, hasil tambang, dll)
c.       Sumber daya energi (tersedianya energi yang cukup untuk menggerakkan industri)

ENERGI NUKLIR
Walaupun kehebatan energi nuklir pertama kali dikenal melalui bom atom yang dijatuhkan oleh Amerika Serikat di Hiroshima dan Nagasaki yang mengakhiri perang dunia ke II, ternyata kehebatan energi nuklir tersebut ikut mengubah peta energi dunia. Energi nuklir yang sangat hebat tersebut pada saat ini telah diubah menjadi tenaga listrik yang sangat dibutuhkan oleh umat manusia.
Sebagian besar negara-negara industri maju pada saat ini lebih mengandalkan kebutuhan tenaga listriknya dari energi nuklir. Mereka menganggap bahwa energi nuklir lebih menguntungkan dari segi pembangkitan dan juga dari segi masalah keselamatan lingkungan. Sementara di Indonesia, PLTN justru merupakan alternatif terakhir sebagai penghasil listrik.



Hasil Analisa
ONTOLOGI
Ada pada bab III, IV, V
1.      Hubungan Al-Qur’an, ilmu pengetahuan, dan teknologi ---bayani dan burhani.
2.      Manusia dan kebutuhan energi ---ilmu eksakta
3.      Atom dan nuklir --- ilmu eksakta
4.      Sejarah : sejarah energi; perkembangan atom dan radiasi

EPISTEMOLOGI
Ada pada bab V, VI, VII
1.      Struktur atom dan teori model atom; teori model atom Thomson, teori model atom Rutherford, teori model atom Bohr.
2.      Atom dan elektron dalam Al-Qur’an
QS. Yunus: 61, QS. As-saba’: 3 dan 22, QS. Al-zalzalah: 7-8, QS. Al-Qamar: 49
3.      Energi nuklir tersirat dalam Al-Qur’an
Reaksi termonuklir yang terjadi di matahari menghasilkan energi nuklir yang amat sangat panas. Interpretasi dari QS.An-naba’: 13
4.      Reaktor nuklir PLTN
Jenis sistem reaktor dalam PLTN; Boiling Water Reactor (BWR), Pressurized Water Reactor (PWR), Pressurized Heavy Water Reactor (PHWR), High Termal Gas Cooled Reactor (HTGR), Fast Breeder Reactor (FBR)
5.      Iptek nuklir
Efisiensi nuklir (uranium) dibandingkan bahan bakar fosil (batubara dan minyak bumi)
6.      Aplikasi radiasi nuklir
Radio farmaka pada bidang kedokteran, teknik mutasi pada bidang pertanian, moisture gauging pada bidang teknik sipil dan bidang pertambangan, neutron activation analysis pada bidang forensik.
Kritik penulis terhadap MANI (Masyarakat Anti Nuklir Indonesia)
Penolakan terhadap nuklir umumnya karena rasa kekhawatiran akan bahaya/sisi negatif yang mungkin ditimbulkan dari pemakaian energi nuklir. Contohnya bom atom di Nagasaki dan Hiroshima (Jepang), kecelakaan radiasi di Three Mile Island (Amerika) dan di Chernobyl (Rusia). Oleh masyarakat anti nuklir ini, dijadikan alasan untuk menolak segala kegiatan yang berbau nuklir. Padahal, manfaatnya jauh lebih banyak daripada bahaya yang dikhawatirkan.
Hal yang menarik untuk dicermati: Apakah masyarakat anti nuklir tersebut benar-benar mengetahui apa tujuan gerakannya, atau hanya meniru hal serupa yang terjadi di luar negeri. Padahal belum tentu “kelompok anti nuklir” luar negeri ini benar-benar anti nuklir, sebab di negara mereka sendiri (negara-negara barat) program nuklir tetap berjalan, justru semakin berkembang dan bertambah maju.
Ada kemungkinan: Negara-negara barat membiarkan negara lain (termasuk Indonesia) agar membakar habis bahan bakar fosil sampai benar-benar habis. Jika itu terjadi, tentu harus membeli dari negara lain. Pada proses pembelian inilah mereka akan menetapkan syarat-syarat yang sudah pasti menguntungkan mereka. Menurut penulis, ini adalah suatu bentuk penjajahan terselubung.
Jika Indonesia berhasil dengan program nuklirnya, maka kebutuhan energi listrik yang terus meningkat dapat terpenuhi dengan harga yang lebih murah, dan ini akan mendorong kemajuan di berbagai sektor.

AKSIOLOGI
Ada pada bab II, III, VI, VII, VIII
1.      Manusia sebagai khalifah di muka bumi
2.      Mengenal Tuhan melalui ilmu pengetahuan dan teknologi
3.      Kemajuan IPTEK akan menambah keimanan
4.      Energi nuklir untuk kesejahteraan umat
5.      Jihad fi sabilillah; jihad bil qalam, jihad bit tarbiyyah, jihad bil lisan.

KRITIK TERHADAP BUKU
1.      Ketidak-konsistenan penulis pada kalimat “kesempatan menanam itu ada di bumi, sedangkan kesempatan menuai atau memetik hasilnya adalah pada saat manusia dipanggil menghadap ke haribaanNya serta dinikmati hasilnya pada hari akhir nanti.” (hlm.21). Tidak semua hasil hanya dinikmati di hari akhir, sebab di sini penulis mengungkapkan bahwa pemanfaatan nuklir (hlm.198) berguna demi kemaslahatan umat (hlm.204) dalam kehidupan di dunia untuk mewujudkan masyarakat yang “baldatun thoyibatun warobbun ghofur.” (hlm.220).
2.      Penulis terlalu optimis dalam memaparkan argumentasinya, sehingga terkesan menganggap ringan dampak negatif dari pemakaian nuklir. Penulis terlalu fokus pada kegiatan evaluasi atas peristiwa yang telah terjadi, sehingga bahasan mengenai pencegahannya kurang diperhatikan. (hlm.222)

DAFTAR PUSTAKA

Pokja Uin, 2004, Kimia Dasar, UIN SUKA Press, Yogyakarta.
Soejono Soemargono, 1976, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Nurcahya,
        Yogyakarta
The Liang Gie, Suatu Konsepsi ke Arah  Penertiban Filsafat, Karya
       Kencana, Yogyakarta
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, 1996, Filsafat Ilmu,
       Liberty, Yogyakarta.
Wardhana, Wisnu Arya, 2004,  Al-Qur’an dan Energi Nuklir. Pustaka Pelajar:
           Yogyakarta.



ANALISIS SUBJEK


PENGGUNAAN BAHASA INDEKS DALAM KATALOG ONLINE SEBAGAI SARANA TEMU KEMBALI INFORMASI DI PERPUSTAKAAN

Abstrak
Bahasa merupakan suatu hal yang penting dalam setiap aspek kehidupan. Dengan bahasa kita akan mengetahui banyak informasi yang dibutuhkan. Seiring berkembangnya jaman, maka perkembangan bahasa pun ikut berkembang, sehingga muncullah istilah-istilah baru dalam konteks bahasa dan dalam dunia perpustakaan sendiri dikenal adanya bahasa Indeks, bahasa Ilmiah, dan istilah-istilah lainnya. Dalam ruang lingkup perpustakaan, bahasa dijadikan kunci utama dalam unsur temu kembali informasi diperpustakaan. Temu kembali informasi sangat dibutuhkan oleh perpustakaan, dengan memprioritaskan Ketepatan dan hasil yang diperoleh dalam temu kembali informasi. Dengan demikian fungsi dan optimalisasi peran perpustakaan sebagai penyedia informasi dapat di maksimalkan. Sehingga diharapkan dengan adanya temu kembali informasi di perpustakaan menimbulkan kepuasan sendiri terhadap para pemakai atau pemustaka dalam kebutuhannya untuk memperoleh informasi dengan cepat dan dapat mengefesienkan waktu. Disinipun perlu adanya evaluasi sarana temu kembali informasi di perpustakaan, agar sarana tersebut dapat dijadikan patokan awal oleh pemustaka dalam pemanfaatan bahan pustaka diperpustakaan. sarana – sarana tersebut dapat berupa Katalog,Bibliografi, dan sebagainya yang mempunyai tujuan sama, yaitu sebagai alat bantu dalam kegiatan temu kembali informasi di perpustakaan.
Kata Kunci : Evaluasi Sarana Temu Kembali Informasi, Bahasa Indeks, Bahasa Ilmiah, Katalog, Bibliografi.
***

I. PENDAHULUAN
Perpustakaan selalu mengolah terlebih dahulu bahan pustaka atau dokumen yang akan menjadi koleksinya. Pengolahan yang dilakukan bertujuan agar semua dokumen yang ada dalam perpustakaan dapat ditemu kembali oleh pemakai. Untuk pengolahan dokumen, perpustakaan melakukan kegiatan yang disebut dengan pengindeksan. Tujuan pengindeksan adalah untuk menghasilkan representasi atau gambaran dari dokumen. Dengan melihat representasi dokumen ini, diharapkan pemakai memiliki gambaran isi maupun fisik mengenai dokumen tersebut bahkan seakan-akan langsung melihat dokumen itu sendiri. Pengindeksan masih terbagi menjadi beberapa kegiatan, yaitu pengkatalogan, pengindeksan subyek, pengabstrakan, analisis dan sejenisnya (Arief Wicaksono,2008:3). Hasil akhir dari pengkatalogan adalah deskripsi bibliografi dari dokumen yang bersangkutan. Seperti judul, pengarang atau penanggung jawab, edisi, penerbit, tahun dan tempat terbit, ISBN dan lain sebagainya. Abstrak sebagai hasil dari pengabstrakan dapat dimasukkan ke dalam deskripsi bibliografi, demikian pula analisis (Arief Wicaksono,2008:3). Kegiatan lain adalah pengindeksan subyek yang menghasilkan subyek dari dokumen. Pengindeksan subyek secara umum terbagi menjadi dua jenis, yaitu pengindeksan pralaras dan pengindeksan pascalaras (Chowdury,1999 : 69). Kedua jenis pengindeksan subyek ini sama-sama terbagi menjadi dua tahap kegiatan yaitu analisis konseptual dan penerjemahan (Lancaster, 1986 : 3). Dokumen, pada tahap analisis konseptual, dibedah untuk mengetahui subyek dari dokumen tersebut. Tahap selanjutnya adalah penerjemahan analisis konseptual dokumen tersebut ke dalam kosa kata tertentu. Pada tahap penerjemahan ini banyak perpustakaan yang menggunakan bahasa Indeks untuk menjaga kekonsistenan penggunaan istilah. Terdapat tiga jenis sistem pada bahasa Indeks yaitu :
1. Daftar Tajuk Subjek
Daftar sejumlah istilah atau kata-kata dengan memberikan acuan atau penunjukkan, seperti istilah ‘see’ atau lihat [x], dan ‘see also’ atau ‘Lihat Juga’[xx]. (Sri Rohyanti,2010 : 21)


2. Tesaurus
Daftar kosakata atau istilah dengan menyebutkan hubungan-hubungannya dengan menggunakan istilah Used For, Nerrower Term, Broader Term, Related Term, dan lain sebagainya.(Mahmudin, 2005 : 10)
3. Skema Klasifikasi
Bahasa indeks yang istilah-istilahnya disusun berkelas yang diberi kode atau lambang tertentu. adakalanya kode/lambing (notasi) terdiri dari huruf atau angka saja, atau gabungan dari huruf dan angka. (Sri Rohyanti,2010 : 22) Skema klasifikasi terdiri dari bagan, tabel dan indeks.

II. RUMUSAN MASALAH
Setelah mengetahui subjek dari kegiatan pengindeksan, maka kemudian menerjemahkan kedalam bahasa indeks dari bahasa alamiah atau disebut dengan deskripsi indeks (SrI Rohyanti, 2010 : 14) yang nantinya akan melahirkan deskripsi bibliografi suatu koleksi yang akan digunakan oleh pemustaka atau pengguna. Dibuatnya susunan-susunan deskripsi bibliografi untuk memudahkan bagi user dalam menemukan kembali informasi yang ada diperpustakaan. Sehingga dapat menghemat waktu pemustaka dalam mencari informasi atau kebutuhannya diperpustakaan. Sarana temu kembali informasi sangat menentukan keberhasilan dalam menjawab pertanyaan dan memenuhi kebutuhan informasi pengguna (vivit wardah,2009 : 18). Sarana untuk membantu pemustaka dalam kegiatan temu kembali informasi dapat berbentuk katalog atau bibliografi, OPAC, abstrak, dan sejenisnya. Dalam hal ini muncul beberapa permasalahan bagi para user untuk menggunakan sarana pembantu tersebut. Penulis telah merangkum dari beberapa problematika yang dialami oleh user dalam hal pemanfaatan sarana temu kembali informasi di perpustakaan dengan rumusan sebagai berikut :
a. Apakah user sering menggunakan STKI (Sarana Temu Kembali Informasi) di Perpustakaan?
b. Kendala apa yang dihadapi ketika mencari informasi keberadaan koleksi melalui STKI?
c. Bagaimana pendapat user akan sarana temu kembali informasi yang ada diperpustakaan?
Untuk menjawab dan mengevaluasi sarana temu kembali informasi di perpustakaan, penulis mengambil sampel dari beberapa pemustaka untuk dimintai pendapatnya akan STKI di perpustakaan.

III. PEMBAHASAN
Mengolah dan mengintegrasikan koleki dengan STKI di perpustakaan adalah tugas dari seorang Pustakawan. Dalam hal ini Pustakawan bertindak sebagai penghubung atau jembatan antara pengunjung perpustakaan dengan koleksi perpustakaan karena umumnya pustakawan tersebut biasanya mengenal baik pengguna perpustakaan maupun koleksi perpustakaan. Akan tetapi dalam suatu perpustakaan yang besar, maka peran pustakawan dalam hal ini tidak bisa mengcover segala kebutuhan dan permintaan dari setiap user. Maka diperlukan suatu alat bantu untuk mengcover semua kebutuhan pemustaka dalam hal penemuan kembali informasi. Dan sarana pembantu itu terangkum dalam bahasa indeks yang diantaranya berbentuk katalog, baik kartu maupun online.
Indeks merupakan bagian kegiatan pengorganisasian informasi berkaitan dengan suatu bidang ilmu pengetahuan agar dapat diakses uleh ‘user’ atau pemakai (Sri Ati Suwanto, 2007: 4). Alat bantu penemuan kembali informasi salah satunya adalah katalog. Katalog perpustakaan memiliki bentuk fisik yang bermacam-macam, yaitu sebagai berikut (Syihabudin Qalyubi, 2007: 135-137) :
1. Katalog Kartu (Card Catalog)
Katalog ini sudah digunakan lebih dari seratus tahun yang lalu, yang hingga kini masih digunakan diperpustakaan yang masih menganut sistem manual. Berukuran 3 x 5 inci yang memuat satu keterangan tentang satu judul bahan pustaka. Kelebihannya adalah awet, fleksibel, ringkas, dapat diakses langsung, tersedia lebih dari satu pendekatan, dan pastinya ekonomis.
2. Katalog Berkas (Sheaf Catalog)
Dibuat dari kertas manila berwarna putih dengan ukuran 10 x 20 cm dan dijilid menjadi satu dengan benang. Satu jilid berisikan 50 buah berkas.
3. Katalog Cetak atau Katalog Buku (Printed Catalog)
Berupa daftar judul-judul bahan pustaka yang ditulis atau dicetak paada lembaran-lembaran yang berbentuk buku. Katalog ini kurang fleksibel, karena penyisipan dan pengeluaran entri katalog sulit untuk dilakukan.
4. Katalog COM (Computer Output Microform)
Dibuat dalam bentuk mikrofilm atau mikrofis dan tak ayal membutuhkan biaya yang besar dalam pembuatannya. Selain itu diperlukan microreader untuk menggunakan alat ini. Dengan banyaknya kelemahan yang dimiliki katalog ini, menjadikan banyak perpustakaan yang tidak menggunakannya.
5. Katalog OPAC (Online Public Access Catalog)
OPAC merupakan bentuk katalog yang sangat digandrungi oleh sebagian besar perpustakaan-perpustakaan pada saat sekarang. Dengan menggunakan softwere tertentu yang tidak terlalu rumit dalam pemakaiannya serta sedang maraknya diterapkan otomasi perpustakaan maka tak heran katalog ini banyak digunakan. Katalog ini bersifat online, jadi dapat diakses dimana saja. Adapun kelebihan yang dimiliki oleh OPAC yaitu mudah dan cepat diakses, penelusuran dapat dikerjakan bersama-sama sehingga tanpa saling mengganggu, penelusuran dapat digunakan dengan menginput kata kunci dengan memanfaatkan penelusuran Boolean Logic, entri yang dimasukkan tidak terbatas serta tidak membutuhkan banyak ruang karena terkumpul dalam satu tempat yaitu komputer.
6. Katalog CD-ROM (Compact Disk Read Only Memory)
Sejak awal tahun 90-an penggunaan CD-ROM diperpustakaan berkembang pesat hingga saat sekarang, dikarenakan lebih efesien dan lebih murah, karena satu CD-ROM dapat memuat 300.000 halaman.

Dari sekian banyak bentuk katalog yang ada, yang banyak digunakan diperpustakaan-perpustakaan adalah OPAC, (Online Public Access Catalog), mengingat dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi dan dengan keefesienannya, membuat banyak perpustakaan beralih kepada katalog online ini, walaupun masih banyak pula perpustakaan-perpustakaan yang masih menggunakan katalog kartu.
Dari hasil interview terhadap beberapa sampel yang diambil dari mahasiswa UGM dan UIN Sunan Kalijaga, kebanyakan dari mereka berpendapat bahwasannya mereka yang sering ke perpustakaan lebih menyukai mencari koleksi dengan bantuan OPAC, sedangkan mahasiswa yang jarang ke perpustakaan mereka lebih memilih langsung untuk mencari buku di rak. Hal ini dikarenakan beberapa faktor, yaitu :
1. Mahasiswa yang sering ke perpustakaan, cenderung lebih faham akan sistematika peminjaman koleksi yang lebih efektif dan efesien. Sedangkan Bagi mahasiswa yang jarang berkunjung ke perpustakaan mengalami hal sebaliknya.
2. Ada juga sebagian pemustaka yang memilih langsung ke rak, karena mereka sudah tahu keberadaan koleksi tersebut.
3. Kebanyakan dari mahasiswa sering mendapatkan kendala dalam penemuan kembali informasi dengan sarana OPAC, diantaranya adalah ketidak sesuaian antara bahan pustaka dan informasi yang dibutuhkan.
4. Sebagian besar dari mereka sepakat akan pentingnya sarana temu kembali informasi yang berbentuk OPAC. Disamping memberikan representasi dari deskripsi buku, juga memudahkan mereka dalam menemukan koleksi diperpustakaan. Terlebih dalam perpustakaan yang berskala besar.
5. Dalam penggunaan bahasa indeks yang terangkum dalam katalog online sudah banyak difahami, tapi terkadang mereka sering mendapatkan kebingungan akan letak dan kode buku tersebut. Hal ini karena kurang pahamnya pemustaka dengan pemetaan koleksi yang ada diperpustakaan.
6. Pemustaka enggan bertanya kepada pustakawan, dikarenakan kurang ramahnya sikap dari pustakawan tersebut.
7. Sering terjadi ketidaksesuaian konteks kalimat atau kosa kata dalam bahasa indeks yang terdapat pada Katalog manual maupun Online (OPAC) sehingga banyak penelusuran informasi yang tidak bisa ditemukan.
Dari perumusan hasil tersebut, maka perlu dievaluasi kembali sistem temu kembali yang sesuai dengan kondisi pemustaka sehingga dapat meningkatkan kualitas pencarian bahan pustaka diperpustakaan.
Dengan demikian penulis memberikan rekomendasi yang kiranya dapat diaplikasikan di lapangan. Yaitu sebagai berikut:
1. Pemanfaatan dan sosialisasi bahasa indeks harus terus diupayakan oleh pustakawan kepada penelusur maupun pemustaka sehingga pelayanan dan kualitas pencarian di perpustakaan dapat mengalami kemajuan.
2. Perlu diadakan sosialisasi secara berkelanjutan terhadap pemanfaatan Katalog baik online(OPAC) atau manual sebagai sarana temu kembali terlebih pada sosialisasi pemanfaatan pengguna formulasi logika Boolean dalam penelusuran.
3. Perlu peningkatan peran intermediary dari petugas dalam proses temu kembali informasi dengan peningkatan skil masing-masing pegawai dalam penggunaan system informasi yang ada dan peningkatan performa dan sikap layanan.
4. Perlu diangkat pembenahan data base dan control vocabulary dalam tahapan input sehingga meningkatnya keterpeliharaan term dan istilah subyek, standarisasi transliterasi dan penulisan ejaan, peningkatan sarana terminal akses OPAC bagi pengguna.
IV. PENUTUP
Sarana temu kembali informasi sangat penting dalam kegiatan penelusuran informasi di perpustakaan. salah satu sarana atau alat pembantu dari temu kembali informasi adalah katalog, katalogpun banyak bentuknya mulai dari kartu, microfilm, CD, hingga kini yang sering digunakan yaitu Katalog Online. yang memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing sebagai sarana temu kembali informasi di perpustakaan. Adapun mekanisme dalam prakteknya perlu dikembangkan dan diperbaiki. Mulai dari penyusunan kembali bahasa ilmiah dan bahasa indeks nya, struktur kosa kata, dan lain sebagainya sehingga dapat meminimalisir kesalahan yang ada dalam temu kembali informasi diperpustakaan. Kemudian diharapkan mampu memecahkan permasalahan sebagai sarana temu kembali yang tepat untuk perpustakaan dan pemustakanya dalam pencarian informasi maupun data di perpustakaan dari sekian banyak sarana temu kembali yang ditawarkan dan terus berkembang dari waktu ke waktu.

Rabu, 25 Mei 2011

MANAJEMEN AKHLAK


I.          PENDAHULUAN
Nabi Muhammad SAW adalah satu-satunya suri tauladan bagi umat muslim sampai hari kiamat. Beliau memang diberikan tugas oleh Allah SWT untuk menyempurnakan akhlak manusia. Seluruh sunnah beliau merupakan pedoman dan teladan bagi seluruh manusia. Kita sebagai umatnya wajib meneladani kehidupan beliau, terutama dari segi akhlaknya. Akan tetapi sebagai manusia biasa, sering kali kita kesulitan dalam meneladani akhlak dan kepribadian Rasulullah SAW. Maka dari itu, perlunya pembinaan akhlak yang secara konsisten dan Istiqomah untuk dilakukan. Dalam mewujudkan pengabdiannya manusia berusaha untuk senantiasa bersih atau suci dari segala dosa-dosa yang melekat pada diri manusia. Adapun cara atau upaya untuk mencapai kepribadian yang bersih dan berakhlakul karimah bisa dimulai dengan Tarbiyah Zatiyah, Tazkiyatun Nafs, dan selanjutnya Halaqoh Tarbawiyah. Apabila kesemuanya telah dilaksanakan, maka yang perlu dilakukan adalah pengistiqomahan diri dan ini disebut juga Manajemen Akhlak. 
Untuk pencapaian akhlakul karimah yang di contohkan oleh Rasul, serta dapat mendekatkan diri kepada Allah, maka perlu cara-cara atau metode yang dilakukan. Minimalnya kita harus melakukan tahapan-tahapan tersebut, bisa secara bertahap ataupun secara bersamaan.
Namun disini, kami akan menjelaskan mengenai Manajemen Akhlak atau langkah-langkah pembinaan akhlak yang harus dilakukan supaya terjadi keseimbangan dan kekonsistenan kepada diri kita, sehingga akhlak yang dicontohkan oleh Rasul dapat kita teladani dan upaya-upaya kita untuk mendekatkan diri kepada Allah tercapai.
II.        PEMBAHASAN
Manajemen akhlak merupakan upaya untuk memetakan dan mengorganisir akhlak kita supaya tetap seimbang, konsisten dan Istiqomah dalam hal kebaikan untuk menjalankan kehidupan sehari-hari. Para ahli perjalanan kepada Allah mengambil langkah pendekatan diri kepada Allah melalui tahap-tahap sebagai berikut:
a.   Musyaratah (Mengikat diri)
Musyaratah atau Penetapan syarat atau mengikat diri merupakan langkah awal seseorang dalam setiap melakukan suatu kegitan. Seperti hal nya orang-orang yang terorganisir dalam kehidupannya, ia akan memplaning terlebih dahulu apa saja yang akan dilakukan sehingga ia akan mendapatkan tujuan atau cita-cita yang di inginkan. Dapat analogikan seperti ini. Seorang mahasiswa apabila ia ingin sukses dalam pembelajaran, maka yang harus dipersiapkan adalah memplanning strategi belajar serta membuat syarat atau target untuk mencapai kesuksesan dalam belajar tersebut (Musyaratah). Kemudian ia juga harus diawasi oleh seseorang yang apabila ia keluar dari planningnya tersebut orang tersebut mengingatkannya, atau mahasiswa itu sadar bahwasannya ia akan diawasi (Muraqabah). Setelah itu perlu adanya evaluasi dari hasil pembelajaran (Muhasabah), apabila tidak mencapai target maka harus diadakan sebuah sanksi (Mu’aqabah) atau mencela kegagalan yang ia lakukan (Mu’atabah), sehingga ia akan termotivasi dan ingin terus meningkatkan prestasinya demi kesuksesan studinya.
Begitu pula dengan dengan akal, untuk dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT dan mencvapai kekonsistenan dalam berakhlak dan beribadah, maka diperlukannya musyaratah (penetapan syarat kepada Jiwa), lalu memberikan berbagai tugas, menetapkan berbagai syarat, mengarahkan kejalan kemenangan, dan mewajibkannya agar menempuh jalan tersebut. Serta jangan pernah lupa untuk mengawasinya, sebab seandainya manusia mengabaikan niscaya akan terjadi pengkhiatan dan penyia-nyiaan modal. Kemudian setelah itu ia harus menghisabnya dan menuntut memenuhi syarat yang ditetapkan. Jadi yang harus ditekankan disini adalah musyaratah menjadikan langkah awal dalam upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Tujuan dari musyarath ini adalah untuk mendeskripsikan tujuan dan langkah-langkah yang akan ditempuh dalam rangka membina akhlak pribadi
b.        Muraqabah (Mengawasi diri)
Tahap selanjutnya ketika kita telah melakukan perencanaan diri atau musyaratah, adalah muraqabah. Adapun muraqabah bagi seorang hamba adalah pengetahuan dan keyakinannya, bahwa Allah SWT selalu melihat apa yang ada dalam hati nurani manusia dan Maha mengetahui akan segala hal.[1] Sebagaimana dikatakan oleh al-Hasan bin Ali ad-Damighani – rahimahullah – , “Engkau wajib menjaga rahasia-rahasia hatimu, sebab Dia (Allah) selalu melihat hati nurani”. Sebagaimana al-Qur’an menjelaskan dalam surat at-Taubah ayat 78.
“Apakah mereka tidak mengetahui, bahwa Allah mengetahui rahasia dan bisikan hati mereka, dan bahwasannya Allah Maha mengetahui segala yang gaib”
orang-orang yang muraqabah ia akan selalu tunduk dan taat serta sangat berhati-hati untuk tidak melakukan perbuatan tercela. sehingga dengan kesadaran ini mendorong manusia senantiasa rajin melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Dalam peribadahannya pun senantiasa khusuk karena ia selalu mebayangkan bahwa Allah SWT selalu mengawasinya. Sebagaimana hadits nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim rahimahullah,
“Beribadahlah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.”(H.r. Muslim).
Adapun tingkatan dari muraqabah ada tiga tingkat, yang paling dasar adalah Muraqabatul Qalbi, yitu kewaspadaan dan peringatan terhadap hati, agar tidak keluar dari pada kehadirannya dengan Allah. sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Hasan bin Ali di atas, dimana ia meyakini dan sadar bahwa Allah SWT mengetahui segala sesuatu yang ada pada nurari manusia. Tingkatan yang kedua adalah Muraqabatur-ruhi, yaitu kewaspadaan dan peringatan terhadap ruh, agar selalu merasa dalam pengawasan dan pengintaian Allah. Adapun tingkat ketiga adalah muraqabatus-Sirri, yaitu tingkatan orang-orang besar mereka selalu muraqabah kepada Allah SWT dan memohon kepada-Nya agar dia senantiasa memlihara mereka untuk selalu ber-muraqabah sehingga dengan kesadaran ini mendorong manusia senantiasa rajin melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Karena Allah SWT mengistimewakan  orang-orang pilihan-Nya  dan orang-orang khusus dengan tidak menyerahkan mereka dalam segala kondisi sepiritualnya kepada seorangpun. Dari tahapan ini lahirlah keyakinan bahwa Allah selalu bersamanya di manapun dia berada.
c.       Muhasabah (Introspeksi)
Muhasabah berarti introspeksi diri, menghitung diri dengan amal yang telah dilakukan. Manusia yang beruntung adalah manusia yang tahu diri, dan selalu mempersiapkan diri untuk kehidupan kelak yang abadi di yaumul akhir.
Dengan melakasanakan Muhasabah, seorang hamba akan selalu menggunakan waktu dan jatah hidupnya dengan sebaik-baiknya, dengan penuh perhitungan baik amal ibadah mahdhah maupun amal sholeh berkaitan kehidupan bermasyarakat (ghairu mahdhah). Allah SWT memerintahkan hamba untuk selalu mengintrospeksi dirinya dengan meningkatkan ketaqwaannya kepada Allah SWT.
Dengan begitu muhasabah adalah upaya untuk selalu menghadirkan kesadaran bahwa segala sesuatu yang dikerjakannya tengah dihisab, dicatat oleh malaikat sehingga ia pun berusaha aktif dalam menghisab dirinya terlebih dahulu agar dapat memperbaiki diri[2]. Muhasabah dapat dimulai dengan bertaubat kepada Allah swt, dan disamping itu dilaksanakan dengan cara meningkatkan ubudiyah serta mempergunakan waktu dengan sebaik-baiknya. Berbicara tentang waktu, seorang ulama yang bernama Malik bin Nabi berkata ; “Tidak terbit fajar suatu hari, kecuali ia berseru, “Wahai anak cucu Adam, aku ciptaan baru yang menjadi saksi usahamu. Gunakan aku karena aku tidak akan kembali lagi sampai hari kiamat.”[3]
d.   Muaqabah (Menghukum Diri atas Segala Kekurangan)
Selain sadar akan pengawasan (muraqabah)dan sibuk mengevaluasi diri melalui muhasabah, maka diperlukannya Muaqabah atau menghukum diri atas segala kekurangan yang telah diperbuat. Disini kami mengambil contoh dari sahabat Umar r.a, beliau terkenal dengan ucapannya yaitu “hisablah dirimu sendiri sebelum kelak engkau di hisab”, maka mu’aqabah dianalogikan dengan ucapan tersebut, yaitu “Iqablah dirimu sendiri sebelum engkau di-iqab”. Pada saat itu Sayyidina Umar r.a pernah terlalaikan dari menunaikan shalat dzuhur berjamaah dimasjid karena sibuk mengawasi kebunnya yang pada saat itu sedang panen besar. Lalu karena ia merasa ketertambatan hatinya kepada kebun melalaikannya dari segera mengingat kepada Allah, maka ia pun cepat-cepat menghibahkan kebun beserta isinya tersebut kepada para fakir miskin. Subhanallah…
Akan tetapi, kita harus memahami pemberian sanksi bukanlah dengan sesuatu yang membuat kerusakan atau menimbulkan kemadharatan bagi dirinya sendiri, melainkan dengan meningkatkan amal ibadah dan mengekang diri dari perbuatan syubhat dan munkar.
e.      Mujahadah (Bersungguh-sungguh)
Arti mujahadah menurut bahasa adalah perang, sedangkan menurut aturan syara’ adalah perang melawan musuh-musuh Alloh, dan menurut istilah ahli hakikat adalah perang memerangi nafsu amarah bis-suu’[4] dan memberi beban kepadanya untuk melakukan sesuatu yang berat baginya yang sesuai dengan aturan syara’ (agama). Sebagian Ulama mengatakan : "Mujahadah  adalah tidak menuruti kehendak nafsu”, dan ada lagi yang mengatakan: “Mujahadah adalah bersungguh-sungguh untuk menahan nafsu dari kesenangannya”[5].
Hadits Nabi  :

رَجَعْنَا مِنَ الْجِهَادِ اْلأَصْغَرِ اِلَى الجِهَادِ اْلأَكْبَرِ , قَالُوْا يَارَسُوْلَ اللهِ وَمَا الْجِهَادُ اْلأَ كْبَرِ ؟ قَالَ  : جِهَادُ النَّفْسِ )رواه البيهقى عن جابر فى كتاب الزهد الكبير (الجزء 2، رقم 373) .
 “Kita baru kembali dari perang kecil akan menghadapi perang besar. Para Shahabat bertanya : YA Rosulalloh gerangan apakah perang besar itu ? Rosululloh  menjawab: “Perang melawan Nafsu”.
Mujahadah adalah suatu keniscayaan yang mesti diperbuat oleh siapa saja yang ingin kebersihan jiwa serta kematangan iman dan taqwa. Kecerdasan dan kearifan akan memandu dengan selalu ingat kepada Allah SWT, tidak terpukau oleh bujuk rayu hawa nafsu dan syetan yang terus menggoda.
Situasi batin dari orang-orang yang terus musyahadah (menyaksikan) keagungan Ilahi amat tenang. Sehingga tak ada kewajiban yang diperintah dilalaikan dan tidak ada larangan Allah yang dilanggar. Jiwa yang memiliki rusyda terus hadir dengan khusyu’. Inilah sebenarnya yang disebut mujahidin ‘ala nafsini wa jawarihihi, yaitu orang yang selalu bersungguh dengan nuraninya dan gerakannya.
Syeikh Abu Ali Ad Daqqaq mengatakan: “Barangsiapa menghias lahiriahnya dengan mujahadah, Allah akan memperindah rahasia batinnya melalui musyahadah.”
Imam Al Qusyairi an Naisabur mengomentari tentang mujahadah sebagai berikut:
Jiwa mempunyai dua sifat yang menghalanginya dalam mencari kebaikan; Pertama larut dalam mengikuti hawa nafsu, Kedua ingkar terhadap ketaatan. Manakala jiwa ditunggangi nafsu, wajib dikendalikan dengan kendali taqwa. Manakala jiwa bersikeras ingkar kepada kehendak Tuhan, wajib dilunakkan dengan menolak keinginan hawa nafsunya. Manakala jiwa bangkit memberontak, wajib ditaklukkan dengan musyahadah dan istigfar. “
Rasulullah SAW terkenal dengan Mujahadahnya yang sangat luar biasa dalam hal beribadah, seperti dalam salat tahajudnya. Kaki beliau sampai bengkak kerana terlalu lama berdiri. Namun ketika isteri beliau Ummul Mukminin Aisyah r.a. bertanya, “Kenapa engkau menyiksa dirimu seperti itu, bukankah sudah diampuni seluruh dosamu yang lalu dan yang akan dating”. Beliau menjawab, “salahkah aku bila menjadi ‘abdan syakuran (hamba yang senantiasa bersyukur) ?”.
Jadi, Mujahadah merupakan wujud usaha untuk meningkatkan amal ibadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah.

f.        Mu’atabah (Mencela diri)
Tingkatan terakhir dalam pencapaian pendekatan diri kepada Allah adalah Mu’atabah. Mu’atabah mengandung arti memonitoring, mengontrol dan mengevaluasi sejauh mana proses-proses tersebut seperti mu’ahadah dan seterusnya berjalan dengan baik.
Dalam melakukan mu’atabah harus disadari bahwa musuh bebuyutan dan paling berbahaya adalah hawa nafsu yang terdapat dalam diri manusia sendiri. Ia diciptakan dengan karakter suka memerintah pada keburukan, cendenrung pada kejahatan, lebih menyukai kemadharatan dan lari dari kebaikan. Manusia diperintahkan agar mensucikan, meluruskan dan menuntunnya dengan rantai paksaan untuk beribadah kepada Tuhannya, dan mencegahnya dari berbagai syahwat dan menyapihnya dari berbagai kelezatan duniawi. Jika hal ini diabaikan, maka akan meraja lela dan membahayakan terhadap manusia itu sendiri. Makadari itu mu’atabah sangat diperlukan dalam proses pencapaian kedekatan diri kepada Allah swt, karena dengan Mu’atabah manusia senantiasa mencela dan menegur dirinya sendiri atau orang lain, sehingga ia tertunduk pada nafsu lawwamah (yang amat menyesali dirinya). Hendaklah manusia tidak lupa sekalipun sesaat untuk saling mengingatkan, saling menasehati dalam hal kebaikan, akan tetapi disini perlu muhasabah terlebih dahulu sebelum menasehati orang lain. Allah berfirman :
“Dan tetaplah memberi peringatan, Karena Sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman”. (QS. Adz Zariyat 55).
Tahapan mu’atabah merupakan evaluasi terhadap seluruh tahapan yang sudah dilaksanakan, apakah sudah sesuai dengan ajaran Allah ataukah menyimpang. Evaluasi juga dilakukan terhadap hasil pembinaan akhlak apakah terjadi peningkatan atau penurunan.

III.       PENUTUP
Dari penjelasan diatas, jelaslah upaya untuk dapat mendekatkan diri kepada Allah harus ditekadkan secara kuat didalam hati, diniat kan dengan bulat dan dalamnya juga perlu tahapan-tahapn serta dukungan dalam melakukan kesemuanya itu. Penjelasan tersebut juga telah memberikan gambaran yang konkrit kepada kita, tentang bagaimana cara kita untuk senantiasa berusaha mendekatkan dan mengingat Allah swt. Sehingga dengan adanya deskripsi mengenai jalan untuk memanaj akhlak, diharapkan memberikan gambaran yang positif dan motivasi yang kuat kepada kita semua untuk lebih meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah swt dan terus berupaya untuk mewarnai dalam setiap hembusan nafas kehidupan dengan akhlakul karimah. Aaamiin…



[1] Al-Luma’ Rujukan Lengkap Ilmu Tasawuf Abu Nashr as-Sarraj
[2] Akhlaq / Tasawuf Pokja UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2005
[3] http://blog_artikelislam/scribd/php/muhasabahdiri.co.cc
[4] Nafsu yang senantiasa memerintah / mengajak perbuatan buruk / jahat.
[5]Jami’ul-Ushul Fil-Auliya oleh Asy-Syekh Dhiyauddin Ahmad Mushtofa Al-Kamsyakhonawy An-Naqsyabandy.Penerbit : Al-Haromain Singapura-Jedah-Indonesia